Beberapa hari lalu tetangga saya Ria masuk Rumah Sakit untuk opname karena kena serangan jantung, waktu saya mendengar hal ini langsung dari ibundanya saya sempat meminta beliau untuk beberapa kali mengulang pernyataannya tersebut karena secara ‘gak mungkin banget seorang remaja yang usianya belum genap 17 tahun, langsing, sehat selalu tertawa, bisa shock kena ‘heart attack’ malah sembari minta maaf kepada beliau saya mengatakan bahwa ayahnya yang bertubuh besar terdengar lebih ‘pantas’ kena serangan jantung. Ternyata di sekolahnya dia mendapat tekanan dari seorang guru ilmu pasti yang selalu berkata-kata tentang hal yang kurang pantas didengar oleh seorang murid, jadi si Ria ini ternyata untuk bidang studi yang satu ini sudah mati-matian belajar dan mengerjakan tugas yang di berikan oleh si guru tapi yang ada dia selalu di hukum(guru kurang puas dengan hasil yang dicapai, red) dan hal itu diperparah dengan makian dari sang guru yang pasti merusak perkembangan karakter anak didiknya tersebut.
Di televisi pun saya melihat dengan pasti tayangan kekerasan yang dilakukan sejumlah guru kepada muridnya, mulai dari meninju, menempeleng, menendang, menjambak bahkan ada yang menginjak muridnya dan yang paling tragis pernah ada pemberitaan tentang guru yang membunuh muridnya, pun itu dilakukan di lingkungan sekolah dan disaksikan oleh murid-murid yang lain. Saya berusaha menyelami cara berpikir dari para guru tersebut tentang apa yang membuat mereka sampai seringan tangan itu, berbagai jawaban keluar dari pikiran saya. Apakah karena tekanan hidup dari si guru lalu murid menjadi pelampiasan? Apakah karena tuntutan dari mulai diberlakukannya standar kelulusan dari Diknas sehingga seorang guru merasa berhak untuk untuk melakukan segala cara agar si murid ini berhasil dalam proses studinya? Entahlah karena saya pun belum pernah bicara dari hati ke hati dengan guru model beginian, tapi yang pasti untuk kasus guru yang membunuh muridnya tadi beliau dinyatakan mempunyai gangguan mental oleh para penyidik.
Sekolah merupakan lembaga sosial yang mendidik masyarakat agar hidup dalam peradaban ilmiah, saling menghargai, dan mencapai kesejahteraan, jadi bukannya hutan yang menjadi tempat berdiamnya para satwa yang dengan seenaknya menerapkan aturan masing-masing. Tapi memang begitu kenyataannya sekarang, banyak sekolah yang sekarang membuat resah para murid. Bukan oleh susahnya pelajaran atau banyaknya tugas yang menumpuk setiap hari melainkan oleh guru yang menuntut bekerja tertib, berkompetisi, dan prestasi akademis. Daripada menghargai keunikan masing-masing, para guru membuat standar, lalu menempatkan para murid ini dalam struktur dan ‘rangking’, akibatnya para murid bersaing mengejar ranking dan berebut masuk standar untuk mendapat pengakuan, beasiswa, dan penghargaan. Mereka yang memiliki kreatifitas acap kali dianggap bodoh meski di masyarakat terbukti sukses dan hasil karyanya amat di hargai. Guru yang mengabaikan faktor dari bakat atau kreatifitas muridnya sama seperti bandit dan jelas buat saya seorang bandit bukanlah pendidik. Seorang bandit meneror dan merongrong anak didiknya yang tak masuk ranking, yang nilainya selalu jeblok, yang masuk daftar tes remidial sehingga sekarang muncullah berita-berita tentang penyiksaan yang dilakukan seorang guru terhadap muridnya. Anak-anak pintar pun tak luput dari penyiksaan ini, mereka dituntut menunjukkan kehebatan dan selesai lebih awal dari jadwal. Bakat dari tiap anak tidak diterima sebagai kelebihan seorang murid.
Pada masa krisis global seperti ini bukan hanya orang tua yang merasakan dampaknya tapi juga para murid sudah dapat merasakan beban hidup yang sedang terjadi bahkan menunggu mereka di masa depan, dan para pendidik mempunyai beban atau pekerjaan rumah yang tidak mudah karena harus banyak bergulat dengan pribadi-pribadi murid yang merasa tidak bahagia, sulit mengendalikan diri, sulit menerima kesulitan hidup, kegagalan, aneka keterbatasan, baik karena peristiwa ekonomi atau pun kurangnya dukungan keluarga, atau karena sistem pendidikan yang diberlakukan.
Sewaktu masih duduk di bangku sekolah saya tidak termasuk murid yang pandai, nilai-nilai saya biasa-biasa saja, cenderung jelek malah..! Saya bukan seorang murid yang bisa duduk dengan tenang ketika menerima pelajaran, saya sangat susah untuk fokus. Waktu itu saya mengambil jurusan IPA yang bertolak belakang dengan isi otak saya.Tapi yang pasti saya sangat menyukai kegiatan ekstrakulikuler, mulai dari pramuka, OSIS, sampai eskul favorit saya ‘teater’. Waktu & energi saya banyak tersita karena saya tidak pernah setengah-setengah dalam menjalani kesukaan saya tersebut, boleh dibilang saya malah bertekun didalamnya. Orangtua saya sebenarnya sangat menentang aktifitas yang saya pilih, menurut mereka itu membuang waktu saja. Tapi inilah yang dikatakan dengan minat, bahwa ketika kita merasa menyukai sesuatu, kita pasti berusaha untuk mengeluarkan totalitas dibidang yang kita suka tersebut. Pada masa saya sekolah sebenarnya organisasi yang saya ikuti kerap membuat saya kecewa tapi seiring berjalan waktu saya memahami bahwa semua itu merupakan proses pembentukan pribadi saya hingga sampai pada titik ini.
Contohnya, teater, kami latihan tiap Rabu sore(kalau saya tidak salah ingat, sudah terlalu lama, red). Kami belajar banyak tentang vokal, pernafasan hingga membawakan berbagai peran. Teater sekolah kami ini juga kerap membuat acara seperti melakukan pelantikan di sebuah pantai di daerah Adipala, bahkan kerap pentas dibanyak acara terutama di lingkungan sekolah. Mungkin saya dibilang sombong bila saya berkata bahwa saya berbakat tapi pada kenyataannya kesempatan tidak pernah datang apalagi berpihak kepada saya. Dua tahun lebih selama duduk di bangku SMU saya aktif di teater saya tidak pernah dilibatkan dalam pentas apapun, jangankan peran utama, peran pembantu pun tidak. Pelatih teater kami hanya menunjuk seorang murid yang mungkin karena kedekatan hubungan dengan orangtuanya hingga beliau selalu menunjuknya, seolah-olah pelatih teater kami ini sedang mengorbitkannya, dalam banyak kesempatan selalu disuruhnya teman saya ini tampil, padahal dalam seribu kali pentas pun lagu yang dia nyanyikan hanya itu-itu yang berjudul ‘Benci Tapi Rindu’, saya ragu kalau dia bisa menyanyi dengan baik untuk judul lagu yang lain. Pun aktingnya menurut saya biasa-biasa saja, entah dari kacamata apa pelatih kami melihat kemampuannya, banyak koq teman saya yang lebih…Jujur saya merasa tersisih, tapi saya tidak sendiri, bahkan bayangan saya pun tidak pernah terdokumentasi, kasihan…….
Yap…betul kalau dulu seorang Meina muda barangkali mengasihani diri sendiri, tragis. Bahkan saya tidak yakin kalau beliau ingat saya yang adalah salah satu murid yang aktif di eskul tersebut. Hari ini, setiap saya mengingat hal tersebut saya bersyukur karena kesempatan yang kerap meninggalkan saya ternyata membuat saya terlatih untuk memelihara motivasi, bayangkan dalam perasaan kecewa pun saya masih tetap pergi latihan, motivasi saya tetap terjaga dengan baik, saya banyak belajar dan tetap berharap bahwa suatu saat pelatih saya itu akan memberikan saya kesempatan untuk tampil,…pengharapan tidak pernah mengecewakan, sampai lulus saya tidak pernah mendapat peran sekecil apa pun, tapi yang saya dapat lebih dari itu….bahwa selain belajar menjaga motivasi, saya terlatih untuk bisa membawakan diri dengan baik terutama di depan orang-orang yang mengecewakan saya, saya jadi terbiasa mengontrol emosi dan hal itu yang ternyata jadi modal utama saya nanti untuk pentas di panggung kehidupan yang melakonkan diri saya sendiri.
Dan setelah saya dewasa, kesempatan itu datang sendiri…sekarang saya banyak diminta untuk tampil, baik sendiri, sebagai master of ceremony misalnya, atau di organisasi kepemudaan yang saya pimpin, di lingkungan tempat tinggal, di tempat saya bekerja, saya kerap didaulat untuk membuat drama musikal, tapi saya sudah bukan artis lagi, karena saya sekarang si ‘sutradara’. Dan belajar dari pengalaman masa lalu yang tidak mengenakkan, sebelum membagi peran setiap orang yang ingin terlibat dalam pementasan di haruskan membaca naskah dan memilih peran yang ia inginkan, lalu diseleksi oleh pemain-pemain yang lain, dengan sangat objektif, bahkan saya senang juga membuat film-film indi, yang hanya dibuat dengan camcorder yang sederhana. Perasaan kecewa yang dulu tumbuh di hati juga mengajarkan pada saya untuk lebih bisa menghargai perasaan orang lain.
Bahwa bukan hanya di rumah, sekolah seperti halnya hidup merupakan tempat untuk memproses pribadi, watak, karakter muridnya. Dan guru menjadi bukan sekedar menjadi tutor tapi juga patner untuk mengembangkan kesemuanya itu. Seiring waktu saya merasa bahwa saya jauh lebih baik daripada saya yang dulu, apa pun bentuknya yang saya terima dari para guru saya waktu itu telah membentuk diri saya seperti yang sekarang ini. Itu karena saya mampu mencerna setiap pesan moral yang ditanamkan oleh para guru saya, saya mampu berkomunikasi dengan bahasa didikan bentuk apa pun dan hal yang satu ini memang hanya kemurahan Tuhan semata. Tapi kemampuan mengelola emosional ini tidak serta merta sama pada setiap murid. Belum lama ini seorang murid menembaki guru dan teman sekolahnya di Jerman karena merasa mendapat perlakuan yang kurang adil.
Untuk mencegah kasus-kasus seperti Ria atau pun pelajar di Jerman yang mendadak jadi teroris, antara murid dan guru harus memiliki kesamaan sikap, yaitu percaya diri, rasa aman, self control, love, otonomi, kekeluargaan, rasa adil, kinerja, perubahan dan saling percaya. Dan sikap ini dapat dibagi tiga yaitu: rasa percaya, hubungan antar pribadi, dan pengendalian hidup.
Pada bagian pertama, yaitu perasaan percaya diri dan dihargai, diperlakukan dengan adil, seorang murid harus mendapat perasaan bahwa guru memperlakukannya dengan baik, menghargainya seperti apa pun keadaannya, dan menyikapinya dengan adil sama kedudukan semua murid di mata sang guru.
Pada bagian kedua, yaitu kenyamanan, love, dan kekeluargaan. Murid-murid yang hidupnya seimbang cenderung penuh dengan kasih sayang dan selalu peduli dengan keberadaan sekitarnya. Sehingga jika dia hendak mengambil tindakan apapun dia selalu memikirkan dahulu, mempertimbangkan baik buruknya dan efeknya terutama dampaknya nanti terhadap hubungan murid dan guru yang seperti orangtua dan anaknya, bukankah seorang anak sangat takut mengecewakan anaknya, dan seorang orangtua akan meluruskan jalan anaknya yang bengkok, bukan untuk membuatnya binasa tapi jauh untuk kebaikan masa depannya.
Pada bagian ketiga, kemampuan self control, pekerjaan, dan perubahan, pada bagian yang terakhir ini murid dan guru diharapkan untuk saling mengendalikan dorongan untuk bertindak brutal, anarkis yang keluar dari dalam dirinya, saling mengakui bahwa kedua belah pihak memiliki prestasi (jangan salah lho…gak semua guru bisa ngajar, red)dan siap untuk mengambil resiko dalam artian kalau proses yang akan ditempuh membuat hasilnya lebih baik, mengapa takut untuk menghadapi tiap perubahan. Jadi ternyata untuk menyukseskan jalannya proses pendidikan diperlukan kerjasama yang erat antara guru dan murid, bukan hanya bergantung disatu pihak saja, harus seiring sejalan, selaras serasi dan seimbang peranan guru dengan murid. baca lebih lengkap...