
Musim kampanye telah tiba, sesaat hal ini membawa pikiran saya melayang pada masa orde baru di mana gegap gempita kampanye di lakukan dengan sangat meriah, teringat saya yang waktu itu masih anak-anak dan tetangga-tetangga menuju ke lapangan Kridasari (letaknya di kota kelahiran saya) dan kami dihibur oleh Evie Tamala, lalu juru kampanye menyerukan yel-yel partai yang bersangkutan dan acara pada jaman itu massa lebih banyak disuguhi hiburan, ya iya….lah wong kontestan Pemilunya saja cuma ada 3 dan belum-belum dilakukan penghitungan selalu ketahuan siapa pemenangnya. Dari dulu sampai sekarang kampanye tidak pernah lepas dari mobilisasi massa dan konvoi kendaraan.
Kampanye terbuka sudah dimulai. Namanya juga kampanye, partai politik dan calon legislatif(Caleg) akan mengerahkan semua kemampuan untuk mendapatkan simpati. Program-program yang dimiliki akan disampaikan secara terbuka dalam bentuk orasi dan melalui konvoi kendaraan. Namun kesempatan melakukan kampanye ini bukan diartikan boleh melakukan apa saja. Tetap ada tatakrama dan rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar. Tak main-main, pelanggaran saat kampanye bisa berupa ancaman pidana penjara. Sejumlah tindakan yang dianggap pelanggaran berat saat kampanye adalah pelibatan PNS, kepala dan perangkat desa, BPD, TNI-Polri, dan anak dibawah umur. Penggunaan mobil dinas, kantor pemerintah, dan fasilitas ibadah juga pelanggaran.
Pelanggaran lain yakni bantuan terselubung kepala daerah terhadap caleg atau parpol tertentu, menyertakan PNS berseragam di lokasi kampanye, Caleg menjanjikan uang atau materi, dan caleg menggunakan isu SARA sebagai bahan orasi atau peralatan kampanye. Kampanye di luar jadwal, keterlibatan kepala daerah tanpa ijin cuti, dan menggunakan dana kampanye illegal atau rekayasa dana kampanye juga masuk kategori pelanggaran. Masih banyak lagi aturan kampanye termasuk yang mengontrol konvoi kendaraan.
Aturan ini tidak main-main, Ketua Komnas Perlindungan Anak ka Seto Mulyadi misalnya, mengingatkan agar parpol atau caleg tidak melibatkan anak-anak dalam kampanye. Sikap tegas ini di latar belakangi pengalaman pemilu 2004. Saat itu ada enam anak tewas saat terlibat dalam kampanye. Belum lagi puluhan anak mengalami luka. Sanksi bagi pelanggar yang melibatkan anak-anak dalam pemilu, cukup jelas, yakni hukuman lima tahun penjara dan denda Rp.100 juta. Selain pengalaman jatuh korban anak, keberadaan anak-anak memang tidak diperlukan dalam kampanye mengingat anak dibawah usia 17 tahun belum mendapat hak memilih dalam pemilu.
Dan ada pihak yang ditunjuk untuk memonitor jalannya kampanye agar parpol & caleg tidak melanggar dan pihak yang berwenang itu adalah Panwas, Panwaslu, dan ada juga Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). Namun pengawasan tersebut tentu tidak mudah mengingat begitu banyak caleg yang akan melakukan kampanye. Disini dituntut peran masyarakat dan juga caleg untuk saling mengawasi, mengingat kecurangan sangat mungkin terjadi.
Selain perlu pengawasan terhadap parpol atau caleg yang kampanye, pengawasan pun harus dilakukan terhadap lembaga yang menyelenggarakan pemilu. Jangan sampai ada parpol dan caleg taat aturan sementara penyelenggara tidak menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya. Atau dalam pelaksanaan tugasnya melakukan tindakan yang melindungi atau hanya menguntungkan parpol dan caleg tertentu saja karena berbagai faktor seperti faktor hubungan personal, kedekatan emosional, apalagi menerima suap.
Semua pengaturan dan pengawasan ini bertujuanagar pemilu bisa berlangsung jujur, adil, dan aman. Jika hal itu tercapai, tentuhasil yang diharapkan adalah hadirnya anggota legislative yang memang murni terpilih dari suara rakyat sehingga kelak benar-benar bisa menjadi wakil rakyat, bukan karena memanfaatkan fasilitas negara, membeli suara, atau memenangkan pemilu secara tidak jujur.